Need help with assignments?

Our qualified writers can create original, plagiarism-free papers in any format you choose (APA, MLA, Harvard, Chicago, etc.)

Order from us for quality, customized work in due time of your choice.

Click Here To Order Now

A. Latar Belakang
Untuk memberantas tindak pidana Narkotika, Indonesia telah mengupayakan seperangkat pengaturan guna mencegah dan menindak lanjuti tindak pidana penyalahgunaan Narkotika, dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Beberapa materi dalam UU Narkotika menunjukkan adanya upaya-upaya dalam memberikan efek Psikologis kepada masyarakat, Undang-Undang Narkotika memberikan ancaman pidana maksimum bagi pelaku kejahatannya, yaitu pidana mati, agar masyarakat tidak mempunyai niat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan sadar bahwa mereka dapat dijatuhi pidana mati
Sanksi pidana mati dalam hukum Indonesia bukanlah sesuatu yang asing. Pidana mati sudah lama diterapkan di Indonesia, eksistensi pidana mati sendiri telah lama dikenal dan diterapkan dalam kebanyakan hukum adat di Indonesia. Pidana mati sendiri telah dikenal sejak zaman kerajaan, hal ini dibuktikan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana yang diberikan oleh Para Raja terdahulu. Pidana mati merupakan pidana yang dilaksanakan dengan merampas nyawa seseorang yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Narkotika, Pasal 114 Ayat (2) yang berbunyi, “Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika golongan 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kg atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati”. Terhadap pelaku sebagai pengedar dimungkinkan dijatuhkan sanksi pidana mati, seperti yang suda di terangkan dalam Pasal diatas juga disesuaikan dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa. Tindak pidana Narkotika sudah merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat. Meskipun sudah banyak penjatuhan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika tetapi pada kenyataannya tetap saja masih banyak tindak pidana Narkotika yang terjadi di Indonesia, seolah-olah mereka acuh dan mengabaikan betapa berisikonya apabila mereka terus berada dalam lingkaran tindak pidana Narkotika, padahal pidana mati telah menanti mereka.
Pidana mati juga diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksi pidana mati dapat diberikan oleh hakim setelah melakukan pertimbangan dengan sebaik-baiknya berdasarkan fakta hukum dalam persidangan dan alat bukti yang cukup sehingga hakim dapat memberikan sanksi pidana mati kepada terdakwa yang melakukan kejahatan berat dan luar biasa.
Salah satu kejahatan tingkat berat adalah peredaran gelap Narkotika yang dapat merusak cita-cita dan masa depan generasi penerus bangsa.
Kejahatan peredaran Narkotika sudah menjadi kejahatan transnasional yang dilakukan antar negara tanpa batas dan wilayah. kejahatan yang paling mematikan karena sasaran utamanya adalah generasi muda.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru para pelaku tersebut yang telah melanggar hak asasi manusia (HAM) lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi di masa yang akan datang. Bahkan Mahkamah Konstitusi berpendapat tidak terdapat kewajiban hukum Internasional apapun yang lahir dari Perjanjian Internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika itu.
Sebaliknya, pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika, yang intinya bagi pihak yang dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan yang dimaksud.
Penjatuhan sanksi pidana mati memang dianggap sebagai upaya yang cukup memberikan efek jera dan rasa takut bagi para pelaku potensial yang belum tertangkap. Tapi pada kenyataannya tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa sanksi pidana mati efektif dalam memberantas tindak pidana Narkotika, justru data yang dihimpun BNN menunjukkan peningkatan drastis selama 11 tahun terakhir. Telah dilakukannya eksekusi pidana mati juga belum memberi pengaruh apapun dalam menurunkan angka kasus tindak pidana Narkotika di Indonesia. Lantas apakah pidana mati akan terus menjadi satu-satunya upaya terakhir dalam memberantas Narkotika atau ada upaya lain ya.ng lebih humanis dan mengutamakan hak hidup dalam (HAM), inilah yang menjadi pertanyaan besar masyarakat untuk pemerintah terkait upaya pemberantasan tindak pidana Narkotika.
Ketidakharmonisan tersebut juga nampak karena Indonesia ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik melalui UU No 12 Tahun 2005 yang secara tegas menyatakan hak atas hidup adalah hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan negara berkewajiban untuk memberi jaminan perlindungannya.
Perkembangan HAM dan kencangnya gerakan Abolisionis, dalil yang menciptakan hukum pidana yang lebih manusiawi, gerakan anti pidana mati di Indonesia semakin kencang ketika Amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945, (UUD NRI 1945) melegitimasi Norma HAM dalam Konstitusi. Salah satu faktor yang menginspirasi penghapusan pidana mati di Indonesia, adalah Sistem Hukum pidana di Belanda sebagai sumber dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi Belanda telah menghapus pidana mati sejak tahun 1870.
Ketidakefektivan berbagai aturan mengenai hak hidup dan sanksi pidana mati Nakotika telah memperluas ruang perdebatan terhadap pelaksanaan sanksi pidana mati Narkotika di Indonesia. Perdebatan itu menghasilkan Pro kontra terhadap sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika. Kelompok yang Pro sanksi pidana mati beragumentasi bahwa sanksi pidana mati berfungsi sebagai efek jerah yang membuat orang tidak melakukan kejahatan serupa sehingga terciptalah ketenangan dan ketentraman di tengah masyarakat.
Secara teoritik, hukum HAM pada dasarnya mengatur hubungan antara Individu-Individu dengan Negara. HAM telah disepakati sebagai hukum Internasional yang telah menjadi standar yang kuat bagaimana Negara harus memberlakukan individu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. HAM memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu–individu setiap manusia untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dan praktek-praktek kekuasaan yang menghormati HAM, memastikan adanya kebebasan individu yang berhubungan dengan negara dan meminta negara untuk memenuhi hak-hak dasar individu dalam wilayah yurisdiksinya.
Dalam konteks ini, negara dapat ditegaskan sebagai petugas dan pemangku kewajiban (duty-bearer) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil), sedangkan individu yang berdiam dalam wilayah yurisdiksinya adalah sebagai pemangku hak (rights holder) daripada kewajiban dan tanggungjawab negara. Eksistensi tanggungjawab negara terhadap jaminan pemenuhan dan perlindungan HAM, tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok HAM yang menjadi acuan Standar pelaksanaan HAM secara Internasional dan Nasional. Hal ini yang membuat sehingga beberapa negara yang sebelumnya menerapkan pidana mati dalam kasus Narkotika, telah mengubah kebijakan mereka dan mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi.
Berbicara mengenai HAM dalam kehidupan demokrasi terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari orang hingga masyarakat awam, HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (Negara) harus menghormati dan melindunginya.
Problematika secara filosofis selanjutnya terkait Putusan Majelis Hakim yang belum mencerminkan penerapan prinsip equality before the law terhadap penyalagunaan Narkotika (bukan sebagai pengedar atau bandar). Selayaknya terhadap Putusan yang seragam, yakni Rehabilitasi bagi penyalaguna dan sanksi pidana bagi pengedar dan bandar, jaminan perlindungan hukum yang mengarah kepada Hak “hak hidup”, juga sejalan dengan amanah Deklarasi Human Right. Sala satu unsur penting dalam hukum adalah substansinya yang patut memuliakan manusia, dalam bahasa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebut sebagai kehormatan manusia (Human Dignity). Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktek buruk dan penggunaan hukum sekedar untuk melayani kemauan penguasa.
Pada tahun 2016 Pengadilan Negeri Semarang telah menjatuhkan 14 kasus pidana mati, yang mana 10 diantaranya masih ditunda eksekusinya sedangkan 4 telah dieksekusi mati, pada hari jumat 29 juli 2016. Mereka yang telah dieksekusi mati adalah Freddy Budiman, Humprey Jefferson, Michael Titus Igweh, dan seck Osmane. Menurut Noor Rachmat, Jaksa Agung muda Pidana Umum, banyak pertimbangan yang diambil mengapa hanya 4 terpidana yang dieksekusi terlebih dahulu, salah satu alasanya karena mereka telah melakukan impor Narkotika dalam jumlah yang sangat fantastis sehingga pemerintah belum mengeksekusi 10 orang ini.
Perlakuan, Persamaan, Perlindungan dan jaminan dihadapan hukum bagi setiap orang di dalam Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI), secara umum lebih dikenal dengan equality before the law. Persamaan kedudukan dihadapan hukum, dalam pelaksanaannya bukan hanya kepada perbuatan negara kepada warganya, namun tindakan yang muarannya pada kepastian hukum yang berkeadilan. Sedangkan persamaan kedudukan dalam perlindungan hukum, belum dilihat suatu bukti nyata dalam penerapannya. Perlindungan hukum berkeadilan hanya bagi orientasi makna kepentingan masyarakat saja namun belum bagi kepentingan individu yang dijerat dengan sanksi pidana mati dalam kausus penyalagunaan Narkotika.
Isu penegakan sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika terus menjadi sorotan dan mendapatkan perhatian di tingkat Nasional maupun Internasional. Negara-negara yang masih menerapkan sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika dapat mengalami reformasi kebijakan di masa depan. Hal ini bisa berupa pengurangan penggunaan sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika, penghapusan pidana mati, atau penerapan alternatif lain dalam penerapan hukum terkait Narkotika. Perubahan ini mungkin dipicu oleh perubahan opini publik, keputusan Pengadilan, atau tekanan Internasional.
Moratorium dan peninjauan: negara-negara yang masih memberlakukan pidana mati dalam kasus Narkotika dapat mempertimbangkan pemberlakuan moratorium sementara atau peninjauan terhadap kebijakan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengevaluasi efektivitas pidana mati dalam mencapai tujuan penegakan hukum dan dampaknya terhadap HAM.
Peningkatan fokus pada rehabilitasi: terlepas dari kebijakan terkait sanksi pidana mati, penekanan pada rehabilitasi dan pemulihan individu yang terlibat dalam penyalahgunaan Narkotika dapat menjadi fokus yang lebih besar di masa depan.
Negara dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk layanan rehabilitasi, program pemulihan, dan reintegrasi sosial bagi mereka yang terjerat dalam penyalahgunaan Narkotika, sebagai alternatif bagi sanksi pidana mati. Sehingga rehabilitasi adalah upaya yang tepat untuk memulihkan dan mengembalikan kondisi para penyalahgunaan Narkotika agar para penyalagunaan Narkotika kembali sehat dalam arti sehat Fisik, Psikologik, Sosial dan Spiritual/Agama. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehati-hari baik di Rumah, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya.
Perumusan ancaman pidana mati dalam UU Narkotika, merupakan bagian dari pidana khusus yang diatur secara spesifik untuk kasus-kasus Narkotika. Pidana mati tidak lagi dianggap sebagai pidana pokok, melainkan sebagai pidana khusus yang diberlakukan dalam konteks Narkotika guna memberikan sanksi lebih berat terhadap pelanggaran tindak pidana Narkotika. Perubahan status pidana mati dari pidana pokok menjadi pidana khusus dianggap mencerminkan ketegasan legislator terhadap penyalagunaan Narkotika yang dianggap merugikan masyarakat secara luas, pidana mati diharapkan dapat menjadi deterrence dan sanksi yang lebih berat sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan peredaran Narkotika. Penting untuk terus memantau perkembangan perundang-undang dan penegakan hukum terkait Narkotika, untuk mengatasi kompleksitas ini, pemerintah telah berupaya membuat KUHP yang baru untuk mengatasi problematika terkait pidana mati yang dianggap sebagai pidana khusus dalam pelaksanaannya tidak lagi dilakukan secara ototomatis. Atau putusannya tidak bersifat inkra, namun terpidana membutuhkan waktu sepulu tahun tahun untuk dieksekusi.
Berdasarkan problematika hukum diatas maka Peneliti tertarik untuk melakukan Penelitian dengan judul. “(ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA, (STUDI DARI PERSPEKTIF PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA)”
A. Rumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1) Apakah ancaman pidana mati masih relevan dipertahankan dalam kasus Narkotika di Indonesia
2) Bagaimana mengkonstruksikan pola ancaman pidana mati yang dianut di Indonesia, terhadap pelaku tindak Pidana Narkotika.

B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan Proposal Penelitian ini adalah
1) Untuk mengkaji, menganalisis, dan membahas perkembangan praktek penggunaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika.
2) Untuk mengkaji, menganalisis dan mebahas manfaat tindak pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika
C. Kegunaan Penelitian.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui perkembangan tindak pidana mati dalam kasus Narkotika dan ancaman pidana mati dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.
2) Untuk mengetahui Putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika dan bagaimana manfaat pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika.
E. Kerangka Teoritik.
1) Teori Penegakan Hukum.
Penegakan Hukum adalah proses yang dilakukan dalam menegakan fungsi aturan maupun norma nyata sebagai petunjuk setiap perilaku masyarakat dalam bernegara. Penjelasan dari penegak hukum dapat juga memiliki arti penyelenggarakan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dan kepada masing-masing orang yang memiliki kepentingan yang sesuai pada tugas kewenangannya sendiri-sendiri menurut hukum yang berlaku. Andi Hamzah berpendapat bahwa istilah penegakan hukum sering disalah artikan seakan-akan hanya bergerak di bidang hukum pidana saja atau hanya dibidang represif. Penegakan hukum dalam hal ini tidak hanya dalam bertangkup perwujudan hukum (law enforcement) namun juga meliputi tindakan prefentif merupakan arti penataan Peraturan Perundang-Undangan
Penegakan hukum merupakan perhatian dari perbuatan atau tindakan yang melawan hukum yang telah terjadi (onrecht in actu) atau juga perbuatan hukum yang mungkin belum terjadi (onrecht in potentie). Menurut Jimly Asshiddiqie, SH, penegakan hukum adalah proses yang dilakukan dalam upaya untuk berdirinya atau berperannya norma atau aturan hukum secara konkret sebagai tuntutan perilaku hubungan hukum yang dilakukan setiap masyarakat dan Negara.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup, sesuai uraian diatas, maka yang dimaksud dengan penegakan hukum ialah suatu peraturan norma-norma sebagai pedoman dalam setiap perilaku masyarakat. Pedoman itu merupakan sistem agar setiap perilaku masyarakat menjadi terkontrol sehingga menciptakan, memelihara, dan mempertahakan kedamaian.
Inti dari pengartian penegakan hukum terletak pada bagiamana suatu aturan norma-norma itu menciptakan keharmonisan hubungan nilai-nilai didalam kaidah yang baik agar menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian didalam masyarakat dan negara. Penegakan hukum pidana yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparatur penegak hukum yang merujuk pada pelaksanaan peraturan-peraturan yang diatur didalam hukum pidana. Menurut Moeljatno menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan unsur-unsur dan aturan-aturan yaitu;
a) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di lakukan dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
1. Teori Pemidanaan.
Teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalamperkembangan hukum mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, tujuan pemidanaan dan pemidanaan memiliki pandangan-pandangan tersendiri yang mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran atau penggolongan sebagai berikut:
a) Aliran Klasik berfaham Indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.
b) Aliran Modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya Individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh UU, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi Yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
c) Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle ofextenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif.
Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Disamping munculnya aliran-aliran hukum pidana tersebut muncullah teori-teori tentang pemidanaan beserta tujuannya masing-masing teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalam perkembangan hukum mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan
2. Teori Pertanggujawaban Hukum
a) Perbuatan asas Legalitas
Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah keadilan adalah legalitas, dimana suatu peraturan umum adalah adil apabila diterapkan sesuai dengan aturan tertulis yang mengaturnya, dan sama penerapannya pada semua kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan dengan tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah agar tercipta negara hukum di mana pengertiannya adalah negara berdasarkan hukum yang menjamin keadilan dan perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah negara yang bersangkutan. Segala kegiatan negara berdasarkan hukum atau dalam konteks negara hukum Indonesia yaitu negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi HAM serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak tekecuali.
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi
Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat didalam Pasal 1 KUHP yang dirumuskan demikia;
1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Perundang-Undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi Terdakwa.
b) Pelaksanaan Asas Culpabilitas atau kesalahan.
Asas Culpabilitas, juga dikenal sebagai prinsip kesalahan, adalah prinsip hukum yang mengacu pada ide bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika dia bersalah secara sadar atau bersalah secara sengaja melakukan tindakan yang melanggar hukum. Ini adalah asas fundamental dalam sistem hukum banyak negara, termasuk hukum pidana.
c) Pemidanaan asas monodualistik atau keseimbangan.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan pokok-pokok pikiran yang mengandung cita-cita hukum dan menjadi sumber tertib hukum, pelaksanaannya melalaui UUD NRI Tahun 1945 yang dinyatakan sebagai dasar hukum, sehinggga setiap produk hukum yang mana diantaranya peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah berpedoman atas dasar dari padanya yang tidak boleh bertentangan. Diundangkannya UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), maka pelaku tindak pidana khusus dimana keberadaannya diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka baik pengguna, pengedar dan hukum narkotika dapat dilakukan penangkapan sesuai dengan ketentuan pada sistem peradilan pidana terpadu, dimana kewenangan polisi dan badan Narkotika nasional melalui penyidik berhak membuat berita acara pemeriksana terdakwa untuk diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum dan dilanjutkan pada tingkat Pengadilan Negeri dalam persidangan terdakwa untuk mendapatkan putusan, apakah Pengadilan di dalam pemeriksaan lanjutan dan atas kewenangannya membirikan kekuatan hukum tetap, sehingga menjadi terpidana untuk ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan sebagai narapidana yang menjadi bagian dari warga binaan.
Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari hukum pemidanaan memuat hak-hak narapidana sebagai warga binaan pemasyarakatan melalui pembinaan dan bimbingan yang seoptimal mungkin dapat berfungsi sebagai penghubung dengan masyarakat luar, sehingga secara aktif dapat meningkatkan program masa pentahapannya.
F. Metode Penelitian
1) Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, adapun yang dimaksud dengan jenis penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder saja. Sedangkan pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, adapun yang dimaksud dengan pendekatan Perundang-Undangan adalah menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diketengahkan. Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dalam rangka penelitian hukum untuk kepentingan praktis maupun penelitian hukum untuk kepentingan akademis.
2) Pendekatan Masalah
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach) yang merupakan penelitian yang mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah meyuburkan praktek penyimpangan baik dalam teknis atau dalam pelaksanaan dilapangan.
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) untuk mengidentifikasi dan memahami segala konsep-konsep hukum yang ditemukan dalam doktrin-doktrin maupun pandangan-pandangan para sarjana. Serta pendekatan kasus yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Pidana mati telah menjadi bagian dari sistem pidana Indonesia sejak masa colonial Belanda. Setelah merdeka, pidana mati tetap ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwarisi dari pemerintah Colonial. Meskipun demikian, penggunaan sanksi pidana mati telah mengalami perubahan.
Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium terhadap eksekusi pidana mati sebagai tanggapan terhadap kritik Internasional. Namun, pada 1997, moratorium tersebut dicabut dan eksekusi pidana mati kembali dilakukan.
Sejak saat itu, ada beberapa revisi terhadap KUHP, termasuk yang terkait dengan pidana mati. beberapa kasus kontroversial eksekusi pidana mati telah menarik perhatian masyarakat luas. Meskipun demikian, penggunaan pidana mati terus berlanjut dalam beberapa kasus yang dianggap sebagai kejahatan serius, seperti Narkotika.
Perkembangan terkini mungkin melibatkan diskusi lebih lanjut tentang efektivitas dan keadilan pidana mati di Indonesia, serta dampaknya terhadap hubungan diplomatic dengan negara – negara yang menentang pidana mati.
3) Sumber bahan hukum.
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri atas Peraturan Perundang-undangan. Sehubungan dengan itu maka bahan hukum primer yang dipakai adalah;
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer yang berasal hasil karya para sarjana yang didapatkan dari instansi, buku-buku tejs, kamus hukum yang dijadikan sebagai referensi sebagai penunjang penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus hukum, insklopedia hukum (legal enyclopedias) dan sebagainya yabg djadikan sebagai referensi untuk menunjang penelitian ini
1) Teknik Pengumpulan dan Pengolaan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah teknik pengumpulan bahan sekunder yang dilakukan melalui studi pustaka . dengan cara membrowsing di internet dan membaca buku-buku, dokumen resmi, publikasi, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan masalah yang hendak diteliti
2) Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena hendak menjawab semua persoalan yang muncul dari pokok permasalahan yang ada. Setelah bahan hukum terkumpul dapat dilakukan analisis. Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yang didasarkan pada sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, Analisa data terhadap data primer dan data sekunder berdasarkan kepustakaan dengan tujuan untuk mendeskripsikan hasil berdasarkan data yang konkrit dari sumber bahan hukum sekunder maupun primer yang digunakan.
BAB II
Pidana Mati Di Indonesia
A. Pidana mati dan pengaturannya dalam KUHP maupun peraturan lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah Indonesia telah menyampaikan argument penerapan hukuman mati yang masih terdapat dalam peraturan Perundang-Undangan Indonesia.
Pengertian tindak pidana/delik dapat diuraikan sebagaimana dikemukakan oleh Adam Chazawi sebagai berikut: (1) Menurut hakim delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang (pidana); (2) Moeljato mengatakan bahwa suatu strafbaarfeit itu sebenarnnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan Perundang-Undangan; (3) istilah starfbaarfeit kemudian diterjemahkan kedelam bahasa Indonesia oleh Rusli Effendi delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam pidana terhadap siapa yang melanggar larangan tersebut. Penerapan norma dalam tindak pidana Narkotika bagi pecandu dan korban penyalahguna Narkotika diakibatkan adanya delik, terutama saat ditetapkan pidana penjara bagi penyalahguna. Delik pecandu Narkotika dan korban penyalahguna secara hukum perbuatan pecadu Narkotika dan menjadi korban penyalagunaan yang menjadi tindak pidana, dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunnya.
Problematika secara teoritis penerapan norma bagi penyalagunaan Narkotika sebagai manusia pencari keadilan, menurut Hans Kelsen keadilan yang mutlak (absolut justeice) bagi setiap orang harusla berdasarkan hukum positif. Terkait pendapat Kelsen ini, Ketika majelis hakim mengambil Keputusan tidak berdasar pada Undang-undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU No. 35 tahun 2009) yang mengatur hukuman rehabilitasi bagi penyalaguna dan pidana penjara atau pidana mati bagi pengedar dan Bandar. Keadaan ini disebabkan karena aturan hukum tentang penjatuhan pidana terhadap penyalaguna, Pengedar dan Bandar masih multitafsir, padahan menurun Lon L. Fuller suatu aturan yang multitafsir bukanlah aturan hukum yang baik.
Oleh karenannya, penegakan hukum pada tingkat pemeriksaan kepada pecandu Narkotika dan korban penyalagunaan Narkotika dengan jalan memenjarakan merupakan tindakan perampasan hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), namun terbukti malakukan tindak pidana sebagai pengedar atau bandar, maka hak kemerdekaan seseorang bisa dicabut karena telah melakukan delik dan hal ini menjadi sesuatu yang mutlak menurut hukum harus ada hukuman penjara untuk membatasi hak seseorang. Pidana mati disamping sebagai sanksi yang paling berat dan merupakan hukuman yang umumnya sangat menakutkan terutama bagi terpidana yang sedang menanti eksekusi. Pidana mati tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwarisi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Adapun dalam KUHP yang baru disahkan pemerintah, Pidana mati diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 102 yang intinya pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai Upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dalam mengayomi masyarakat. Perubahan paradigma pidana mati dalam KUHP yang baru ini didasarkan amandemen kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, karena itu nonderogable right sifatnya atau HAM yang tidak dapat dikurangi dalam hal apapun.
Secara sosiologis, pelaksanaan sanksi pidana mati kembali ramai diperbincangkan oleh Indonesia dan bahkan dikalangan Internasional. Hal tersebut dipengaruhi oleh rencana pemerintah Indonesia yang akan mengeksekusi terpidana mati tahap dua yang umumnya terpidana kasus Narkotika. Rencana tersebut kemudian terlaksana pada tangga 29 April 2015 pada dinihari di Nusakambangan. Delapan terpidana mati kasus Narkotika telah dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sementara terpidana asal Filipina ditunda eksekusinya. Terpidana asal Australia, Nigeria, Brasiil, dan Indonesia dieksekusi oleh regu tembak setelah notifikasi pelaksanaan sanksi pidana mati dikeluarkan akhir pekan. Para terpidana mengajukan berbagai langkah hukum, termasuk menggugat Keputu

Need help with assignments?

Our qualified writers can create original, plagiarism-free papers in any format you choose (APA, MLA, Harvard, Chicago, etc.)

Order from us for quality, customized work in due time of your choice.

Click Here To Order Now